Ada yang Ajukan Proposal Nikah? Jangan Bingung, Ini Beberapa Tips Agar Lebih Mudah Mengambil Keputusan

Ada yang Ajukan Proposal Nikah? Jangan Bingung, Ini Beberapa Tips Agar Lebih Mudah Mengambil Keputusan
(Catatan: Artikel ini tidak hanya untuk para muslimah atau akhwat, tapi juga untuk muslim atau ikhwan).

Dapat dimaklumi, banyak orang menjadi ragu saat mereka mempertimbangkan sebuah proposal pernikahan; mungkin mereka merasa tidak dapat mengambil keputusan dan terus meminta saran dari teman dan keluarga.

Hal ini dapat mempengaruhi spiritual, emosional, sosial dan profesional mereka. Jadi, artikel ini adalah pengingat bahwa -dengan bantuan Allah SWT – ada beberapa tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk mengatasi situasi ini, insya Allah.


Tanpa berpanjang lebar lagi, inilah beberapa tipsnya.

1. Pahami dan Gunakan Istikharah dengan baik

Ini adalah titik yang sangat penting. Banyak orang meremehkan atau menyalahartikan doa istikharah.
Mengapa kita memulai dengan ini dan mengapa istikharah sangat-sangat penting dan sangat diperlukan?
Karena tidak ada seorangpun, dan pastinya tidak ada, yang dapat mengetahui yang ghaib, masa lalu, sekarang dan masa depan, selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Maha mengetahui secara penuh, latar belakang dari orang yang mengajukan proposal pernikahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui sifat atau watak yang sebenarnya dari laki-laki tersebut.

Tidak peduli berapa banyak orang yang telah engkau tanyakan, mereka tidak akan benar-benar tahu sepenuhnya. Masalah ini, sepenuhnya adalah diserahkan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala; sebagaimana halnya ujian, adalah untuk mengintensifkan kebutuhanmu pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jadi, lakukanlah istikharah seakan engkau tak pernah melakukannya sebelumnya. Tanyakan dengan penuh kesadaran, tulus dan serius


Katakanlah seperti yang engkau maksud, “Ya Allah, berikanlah pengetahuan-Mu, apakah ini yang terbaik untukku? Hanya Engkau yang mengetahui, jadi bimbinglah aku pada apa yang terbaik bagiku di dunia dan di akhirat.”

Saat ini, sebagian orang mungkin melakukan sesuatu yang tidak terlalu tepat karena menganggap itu adalah istikharah. Alih-alih berkonsultasi dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Pengetahuan-Nya, mereka akan berkata: “Ya Allah, jadikanlah si fulan orang yang tepat dan sempurna untuk menjadi pasanganku,” tanpa ingin menerima takdir lainnya atau hasil yang lainnya.

Jika engkau melakukan hal seperti itu, apa gunanya istikharah? Ini bukanlah berkonsultasi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menerima kebijaksanaan-Nya dan Qadar. Ini adalah meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membuat sesuatu menjadi hal yang benar dengan berbagai konsekuensinya. Dan ini tidak terlalu benar… Kenapa? Kalau si fulan realitanya adalah orang yang tidak baik dan engkau meminta Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya orang baik, apakah kamu mengira Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memaksakan kebaikan kepadanya? Caranya tidak seperti itu. Hidup ini adalah ujian. Kita bertanggungjawab atas perbuatan kita -baik dan buruknya.

Saat kamu meminta Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengubah si fulan menjadi superman/superwoman, maka dimana kehendak bebas orang itu untuk memilih?

Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menilai dia jika Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang memaksanya untuk menjadi baik atau menjadi seseorang yang bukan dirinya? Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing mereka yang jujur dan memiliki keinginan, tapi jika seseorang tidak benar-benar baik dan tidak memiliki niat, maka itulah pilihan mereka.

Yang perlu engkau lakukan adalah bertanya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apakah orang ini, sebenarnya, membawa kebaikan, apakah orang ini adalah orang yang bisa membuatmu bahagia, apakah orang ini pasangan yang tepat. Jika tidak, maka mintalah pada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjauhkan orang itu darimu dan menjauhkanmu dari orang itu dan memfasilitasi apa yang tepat untukmu sesuai dengan Pengetahuan-Nya. Ini adalah istikharah.

Dari Jabir bin Abdillah r.a, dia bercerita ; ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku” –atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan: “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut), Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).

Sekali lagi, intinya adalah engkau menyerahkan hal ini kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meminta Pengetahuan-Nya dan Kekuatan-Nya untuk kebaikanmu dengan membimbingmu untuk melanjutkannya atau menjauhkannya dari jalanmu.

Sekarang ada beberapa ‘larangan’ sebelum kita melanjutkan.

Jangan berkeliling menanyakan kepada semua temanmu tentang pendapat mereka. Ini tidak akan membantu. Tapi tanyakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemudian meminta orangtua yang bijaksana/adil/terpercaya dalam keluarga/komunitas yang dapat secara jujur dan menjamin kebenaran dari orang tersebut.

Jangan berkeliling mengungkapkan setiap detil tentang orang tersebut kepada orang lain. Lindungi privasi saudara laki-lakimu (akhi) atau saudara perempuanmu (ukhti) – bagaimana jika ia menjadi pasanganmu (istri/suami) dan engkau telah menceritakan detil pribadi orang tersebut kepada teman-temanmu? Ini bukanlah cara kita untuk menjaga rumah tangga dan pasangan kita. Dan bagaimana jika orang tersebut menikahi orang lain yang kamu kenal? Banyak individu baik yang mungkin tidak cocok untukmu, tapi cocok untuk orang lain. Jadi lindungi kehormatan dan privasi orang tersebut; baik menerimanya atau melepaskannya dengan diam-diam dan penuh rasa hormat.

2. Miliki Taqwa dan Ajukan Pertanyaan Cerdas

Sebagian orang jatuh pada kesalahan serius atau tindakan tidak senonoh dengan berpikir: “Saya harus sepenuhnya mengenal orang tersebut terlebih dahulu.”
Ada sesuatu yang benar dan juga sesuatu yang salah di sini.

Saudariku, jika seseorang tidak datang melalui pintu untuk berbicara dengan keluargamu secara resmi dan mengumumkan keinginan dan kesiapan untuk menikah, dan malah mendekatimu secara pribadi dan meminta untuk mengenalmu terlebih dahulu dan pergi denganmu dan lain-lain, maka ini adalah berita buruk!

Kalau ia seperti itu, maka ia bukanlah seseorang yang dapat dipercaya untuk hidupmu dan masa depanmu. Selain itu, tidaklah diperbolehkan dalam Islam, saat ia ingin mengenalmu secara pribadi, ngobrol, pergi keluar, dll. Itu adalah perbuatan buruk dan membuang-buang waktumu. Jangan terbawa secara emosional, mental dan fisik pada seseorang yang tidak menunjukkan langkah dan keinginan yang benar untuk melakukan komitmen denganmu. Bagaimana jika dia memutuskan pada saat kapanpun ia mau, bahwa engkau tidaklah cukup baik untuknya dan menghilang begitu saja, apakah pendekatan semacam ini benar-benar bisa menjaga hati dan kehormatanmu?

Dia harus datang dan berbicara secara resmi dengan keluargamu dan jika itu tidak berhasil, maka engkau akhiri itu melalui mahram darimu – laki-laki dari keluarga yang melindungimu dan mengurus urusanmu untuk memelihara kehormatan dan martabatmu.

Sekarang, apakah kita akan mengatakan bahwa engkau harus menikahi seseorang secara membabi-buta tanpa mengenalnya? Tentu saja tidak!

Apa yang ingin coba kami sampaikan adalah: milikilah taqwa dalam ikhtiarmu. Artinya, ikutilah cara yang suci, dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lakukan hal yang benar dan tinggalkan apa yang dilarang dalam setiap langkahnya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah dan memudahkan urusan itu untukmu. Engkau tidak perlu keluar dan bersendirian dengan orang tersebut dan mengujinya di segala situasi. Ini adalah sebuah kekeliruan. Tidak mungkin kamu mengetahui segala sesuatu tentang seseorang kecuali setelah kamu hidup bersama orang itu dalam jangka panjang dan bersama-sama melalui masa yang baik dan buruk. Bahkan ketika sebagian orang sudah tinggal bersama dan saling mengenal satu sama lain melalui cara yang tidak halal, apakah akan menjamin hubungan itu akan berhasil? Tidak, dan kamu lihat orang-orang bercerai setelah mereka menikah. Memperpanjang proses yang tidak perlu dengan cara yang membuatmu jatuh ke dalam yang haram, tidak akan membantu. Jadi apa yang perlu kamu lakukan?

3. Ajukan Pertanyaan Cerdas

Bila orang tersebut mengajukan secara resmi dan kamu serius mempertimbangkannya, inilah saatnya untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya penting bagimu. Misalnya, tanyakan tentang:
1. Bagaimana dia menangani kemarahan dan perselisihan
2. Pengeluaran dan apa tanggung jawab masing-masing
3. Harapan akan hak dan kewajiban pasangan
4. Rencana hidup/visi/tujuan
5. Anak-Anak

Kalau engkau, misalnya, ingin mengenakan niqab, maka tanyakanlah apakah ini adalah sesuatu yang akan ia tolak, boleh, atau akan mendukungnya?

Pada dasarnya, tanyakan pertanyaan cerdas tentang apa yang sebenarnya penting bagimu, apa yang tidak dapat engkau jalani dan apa yang tidak dapat engkau terima. Engkau perlu memahami siapa dirimu dan apa yang engkau inginkan, lalu komunikasikan hal itu. Sampaikan dengan jelas dan jujur. Ini harus rasional, hampir seperti kesepakatan bisnis.

Jangan biarkan perasaan masuk dulu.

Sekali lagi, jangan biarkan perasaan masuk!

Dan inilah beberapa lagi ‘larangan’….

Harap jangan terus menatap foto-fotonya, jika karena suatu alasan tertentu kamu memiliki akses yang terbuka pada hal itu.

Harap jangan terus mengecek akun Facebook-nya atau membayangkannya sebagai suami, pasangan, pelindung dan ayah dari anak-anakmu.

Harap jangan dulu. Sayangilah hatimu; jangan biarkan imajinasi itu terlalu longgar. Ini akan membuat lebih sulit bagimu dalam mengambil keputusan yang tepat. Jika engkau membiarkan imajinasimu terlepas dan melekat secara emosional, kamu tidak akan dapat melihat masalah pada orang tersebut secara rasional. Dan ketika kamu menikah dan memenuhi kebutuhan emosional itu, kamu akan ditinggalkan dengan masalah yang telah engkau abaikan dan itu akan menjadi kenyataan yang tak terbayangkan.

Jadi, berusahalah dalam periode ini untuk mengidentifikasi masalah utama – jika ada- dan diskusikan bagaimana engkau bisa menyelesaikannya dan apakah ini adalah sesuatu yang engkau merasa nyaman, ataukah sesuatu yang tidak ingin engkau terima.

4. Jangan Mengharapkan Perubahan yang Cepat

Banyak orang tertarik pada seseorang dan kemudian mengabaikan masalah utama, berharap orang tersebut akan berubah di masa depan. Misalnya, mereka akan menerima seseorang yang tidak sholat, tapi berharap orang tersebut akan sholat di masa depan. Mereka akan menerima seseorang yang merokok tapi berjanji akan berhenti merokok di masa depan, atau seseorang yang secara bebas mencampur/melakukan segala macam kesalahan, tapi berjanji akan berubah di masa depan.

Nah, jangan uji “keberuntunganmu”.

Bukti apa yang kamu miliki bahwa orang tersebut akan berubah pada masalah besar seperti itu?
Jangan membuat keputusan atas janji yang tidak memiliki dasar yang kuat.

Abu Hurairah mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084).

Jika engkau menemukan seseorang yang disukai saat ini dalam hal akhlaq dan komitmen agamanya, maka menikahlah dengannya… Dan bukannya dengan seseorang yang engkau harapkan akan berubah menjadi baik di masa depan setelah ia memperbaiki dirinya sendiri.

Bagi para saudara laki-laki, jika engkau perlu mengubah sesuatu tentang dirimu, dan engkau tulus melakukannya, mulailah berubah dari sekarang. Perubahan yang dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang pertama dan terutama karena inilah tujuanmu diciptakan. Jangan mengandalkan seseorang untuk benar-benar mengubah dirimu menjadi baik.

Engkau tentunya bisa saling membantu jika kamu telah memiliki dasar untuk membangun dan memiliki tujuan bersama. Seseorang dapat menjadi lebih baik, tentunya, karena engkau akan tumbuh bersama.

Tapi seseorang tidak bisa berubah drastis jika saat ini mereka tidak melakukannya sendiri. Harus ada dasar-dasar yang tidak dapat dinegosiasikan, seperti sholat misalnya dan semua kewajiban agama; engkau harus waspada untuk memulainya, jika ini tidak ada.

5. Jangan Merasa Terpaksa

Dan ini juga berlaku dua arah. Bahkan meski jika seseorang, katakan saja, ia hafidz Al Quran dan imam masjid dan sebagainya, tapi bila engkau tidak merasa nyaman dengannya atau tak tertarik padanya, maka cukup itu saja, itu adalah alasan yang cukup untuk menolak.

Engkau tidak perlu merasa tidak enak tentang hal itu. Seseorang bisa jadi sempurna tapi itu tidak cocok untukmu dan juga sebaliknya. Inti dari mencari komitmen yang agamis dan akhlaq yang baik pada seorang laki-laki adalah bahwa kita ingin mempercayakan padanya untuk mengurus urusan kita dengan cara menjaga semua hak kita dan menjaga martabat kita. Kita menginginkan agama yang mendisiplinkan dan karakter rendah hati -Ini adalah perlindungan dan kehormatan bagi wanita dan harus menjadi alasan untuk kebahagiaannya dan kenyamanannya karena mengetahui bahwa laki-laki ini akan takut kepada Allah SWT dan menyadari ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya jika ia menyakiti dengan cara atau bentuk apapun. Inilah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini adalah agama kita: kelembutan dan kasih sayang terhadap wanita.

Jika religiusitas ini tidak tercermin pada akhlaq, maka jangan dipaksa untuk menerima. Dan jika engkau menemukan keduanya; agama dan akhlaq, tapi engkau tidak merasa nyaman, tidak dapat membayangkan dirimu hidup dengan orang itu, entah ada sesuatu yang menjijikkan tentang dia, dan engkau telah melakukan istikharah dan engkau merasa tidak menginginkannya, maka itu jawabanmu dan engkau tidak harus terus maju dalam hal ini.

Ingatlah kisah ini: seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengeluhkan bahwa suaminya tidaklah buruk agamanya, tapi tidak cocok untuk dirinya (karena suaminya buruk rupanya) dan ia tidak ingin jatuh dalam kedurhakaan. Rasulullah SAW mengabulkan perceraiannya dari orang ini, meskipun laki-laki tersebut orang yang yang baik.

Ibnu Abbas meriwayatkan :
“Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qois tidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?”.
Maka ia berkata, “Iya”. Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit, “Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !” (HR Al-Bukhari no 5373)

Jadi, sebaiknya engkau jangan dipaksakan atau ditekan. Ingatlah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa seorang wanita seharusnya tidak menikah tanpa izin atau persetujuan darinya. (Sunan Abu Dawud)

Jadi, carilah penerimaan, kompatibilitas dan kepuasan secara keseluruhan, selain baik dalam agamanya yang mencerminkan karakter secara positif – pada dasarnya seseorang yang dapat engkau percaya.

6. Gunakan waktu ini untuk lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Ingatlah bahwa Allah SWT berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30: 21)

Apa tandanya? Sebuah tanda adalah yang mengarah kepada tujuan. Jika pernikahan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka itu adalah sesuatu yang seharusnya membawamu kepada Dia, pada setiap langkahnya. Dari saat engkau berdoa untuk menikah, menimbang seseorang dengan serius, hingga bersama seseorang dan menjalani hidup bersama.. Dan sampai engkau bersama-sama bertemu Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersyukur pada-Nya atas pertolongan-Nya padamu.

Engkau menikahi seseorang, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah cinta pertamamu. Dia akan dan selalu menjadi Satu-Satunya bersamamu sejak awal adanya dirimu dan akan selalu bersamamu saat semua orang telah tiada.
Jangan lupakan itu.
Buatlah saat ini adalah saat yang membuatmu lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perkuatlah doamu dan tingkatkanlah ketergantunganmu pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

7. Ingatlah untuk Memperbaharui Niatmu!

Baru-baru ini saya membaca sebuah jawaban dari seorang ulama kepada seorang saudari yang bertanya, “Apa niat yang harus saya miliki saat ingin menikah?” Dan dia menjawab: “Engkau dapat memiliki niat yang memenuhi dunia dan akhirat.. Suatu niat untuk memberi kedamaian, ketenangan, dan bersandar pada bahu orang lain, suatu keinginan untuk menjaga seseorang tetap suci, merawat mereka, membantu mereka dalam kebenaran, melahirkan keturunan yang sholeh bersama-sama… Sebuah niat untuk membiarkan seseorang merasakan kebahagiaan melalu cara yang halal dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karenanya.. Mungkin sebuah pernikahan yang melahirkan seseorang seperti Asy Syafi’i atau Ahmad bin Hanbal yang akan bernilai lebih dari seribu tahun ibadah.”

Renungkan niatmu dan pahami apa yang telah engkau lakukan dan mengapa engkau melakukannya, itu akan membantumu dan memberimu kejelasan.

Memang tindakan ditentukan oleh niat mereka, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Jadi, ingatlah ini, dan ketahuilah bahwa urusan orang beriman itu, semuanya baik, karena Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).

Jika karena alasan tertentu proposal tersebut tidak berjalan baik, maka itu tidak masalah. Selama engkau telah melakukan istikharah dan segala sesuatu dengan cara halal, maka ketahuilah bahwa ini terjadi karena alasan yang baik. Jangan khawatir, engkau akan tetap bisa melanjutkan hidup. Doakan orang tersebut dan juga untuk dirimu; Kerajaan Allah SWT adalah luas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah lelah menyediakan untukmu dan kita semua, jadi tetap baik, kita tetap bersyukur kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi:

“Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama di antara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin diantara kalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka di antara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir semunya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikaan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah ada yang dicela kecuali dirinya”. (Riwayat Muslim)

Komentar terakhir: Ya, kita tidak akan bisa mencegah semua masalah di dalam pernikahan yang mungkin timbul di masa depan. Namun bagaimanapun, kita diharuskan melakukan yang benar dan mengambil langkah yang benar karena inilah sebabnya mengapa kita diciptakan dan inilah yang akan ditanyakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kita, sebagaimana disampaikan dalam productivemuslim. [Syahida.com / ANW]

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan2

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel